Bumilangit Wiki
Register
Advertisement

Tautan ke halaman Susi lainnya


Quote1 Apa yg harus aku lakukan lagi? ... Baiklah aku akan membuat negara ini jadi jauh lebih baik lagi. Tapi aku kan masih sangat muda, belum cocok jadi politisi apalagi jadi pemimpin negeriQuote2
― Tira[src]

Susi adalah seorang mahasiswi yang memiliki kemampuan bela diri yang hebat dan menggunakan kostumnya yang berteknologi tinggi.

Ayahnya Susie adalah seorang direktur sekaligus pemilik Thetatech. Sementara itu, Ibunya Susie adalah seorang manajer bank pusat.

Susie menjadi Tira yang bersumpah untuk melawan kejahatan dan ketidakadilan.

Sejak kejadian Sembilan Pintu Naga, Tira selalu didampingi sembilan siluman naga dan mampu memanggil para sembilan siluman raksasa.

Tira: Perkara Pertama

Quote1 Ini semua karena mimpi sialan ituQuote2
― Susi[src]

KRING!!!

Susie sontak bangun dari tidur mendengar alarmnya berbunyi. Jantungnya berpacu begitu kencang, sampai-sampai ia bisa mendengar detaknya dengan jelas. Gadis itu terburu-buru membuka penutup matanya dan melihat ke sekelilingnya.

Dinding ruangan tempat Susie berada berwarna putih. Sebuah lemari kayu berdiri di sudut ruangan, pintunya setengah terbuka, memperlihatkan tumpukan pakaian di dalamnya.

Sebuah meja belajar terletak di samping lemari tersebut dan di atasnya terdapat lembaran kertas, alat tulis, buku yang berserakan. Aroma parfum buah-buahan menyeruak di dalam ruangan itu. Susie menghela napas lega. Ia telah kembali ke kamarnya.

Gadis berumur dua puluh tahun tersebut beranjak dari tempat tidurnya dan berdiri di depan kaca. Susie memandang pantulan dirinya sendiri selama beberapa menit.

Ia terlihat seperti seseorang yang belum tidur selama berhari-hari. Rambut hitamnya yang biasanya lurus kini berantakan tak karuan. Kantung matanya semakin hari semakin membesar.

Meski semua kejadian mengerikan yang ia alami semalam itu hanyalah mimpi, namun rasa sakitnya masih membekas seakan semuanya benar-benar terjadi. Kepala Susie pusing berat dan seluruh badannya terasa pegal.

Dan hal terburuknya adalah, semenjak dua minggu yang lalu, hampir setiap hari Susie memimpikan hal yang sama dan bangun dengan rasa sakit yang sama.

"Ini semua karena mimpi sialan itu," gumamnya sebal.

"Mimpi apa?"

Susie menoleh dan mendapati ibunya sedang bersandar di ambang pintu kamarnya. Wanita paruh baya itu melipat kedua tangannya di depan dada sembari tersenyum ke arah Susie. Ia sudah berpakaian kerja; kemeja linen abu-abu yang dikancing sampai atas, celana bahan hitam, dan sepatu pantofel hitam.

"Ah, bukan apa-apa," bantah Susie. Ia tersenyum, menunduk, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Hanya mimpi buruk yang membuat tidurku tidak tenang."

Ibu Susie beranjak mendekati putri tunggalnya. Ia mengangkat wajah anaknya dengan tangannya yang kecil dan dingin. Perempuan berusia empat puluh delapan tahun itu menatap dalam-dalam mata anaknya.

Dari dekat, Susie meneliti seluruh detail kecil wajah ibunya. Mata cokelat yang besar, hidung tajam, dan tulang pipi yang tinggi. Sejumlah helai rambut ibunya telah memutih, daerah keningnya berkerut, kedua garis senyumnya terlihat jelas. Susie mengagumi fakta bahwa ibunya masih terlihat menawan meskipun beliau hampir berumur setengah abad.

"Kamu yakin kamu baik-baik saja?" tanya ibunya. "Dua malam yang lalu kamu juga terbangun tengah malam karena mimpi buruk, kan?"

"Entahlah," tanggap Susie singkat sembari mengangkat bahu. Ia sedang tidak ingin membahas tentang mimpi buruk itu. "Mungkin aku memang lagi banyak pikiran."

Ibunya menghela napas panjang, lalu menepuk-nepuk pipi Susie. "Baiklah kalau kamu nggak mau cerita. Tapi kalau ada apa-apa, jangan lupa selalu beritahu Ibu dan Ayah, ya," ujarnya, kemudian beliau mengecup kening Susie.

Susie mengangguk.

Jam dinding menunjukkan pukul tujuh pagi. "Tumben Ibu belum berangkat ke bank," celetuk gadis itu heran. Ibunya adalah seorang yang sangat menghargai waktu. Beliau biasanya sudah berangkat ke kantor pukul setengah tujuh pagi walaupun jam kerja beliau dimulai dari jam sembilan pagi.

"Oh, Ibu cuti hari ini, Susie," tanggap wanita itu sembari menyibakkan rambutnya ke balik telinga kirinya. "Hari ini Ibu hanya akan berangkat ke bank untuk mengecek beberapa berkas pembukuan, kemudian pulang dan berkemas. Ayah akan terbang ke Jepang malam ini untuk menghadiri konferensi pers peluncuran perdana produknya di Jepang, jadi Ibu harus menemani Ayah," jelasnya.

"Kapan Ayah dan Ibu akan pulang?"

"Kurang lebih empat hingga lima hari, Sayang."

"Jadi Ayah dan Ibu tidak akan mendatangi pameran sainsku lagi?" tanyanya lirih. Kekecewaan terdengar jelas di dalam nada suaranya. Menyadari hal itu, senyum Ibu Susie memudar sedikit demi sedikit.

Wanita tersebut membenarkan letak kacamatanya dan memegang kedua bahu Susie. "Maafkan Ibu dan Ayah, Sus. Kamu tahu sendiri kalau hal ini sangatlah penting untuk perusahaan Ayah." Beliau berhenti sejenak untuk menarik napas, kemudian kembali menjelaskan, "Kami berdua melakukan ini demi kamu juga, Sayang."

Susie memaksakan untuk tersenyum. Inilah konsekuensi jadi anak orang kaya, pikirnya. Dimanjakan oleh harta, tidak oleh perhatian.

Selama tiga tahun Susie menuntut pendidikan tinggi, sudah dua kali ia menjadi pemenang lomba pameran sains inovatif seantero kampus-kampus di daerahnya, namun tidak sekali pun kedua orang tuanya hadir. Tahun pertama, ayah dan ibunya mendatangi peresmian pabrik baru dan pada tahun kedua, ibunya mengadakan rapat bersama para manajer bank lainnya sedangkan ayahnya tengah meluncurkan software baru.

Hal ini bukanlah sesuatu yang baru bagi Susie. Ia memang sudah terbiasa ditinggal oleh kedua orang tuanya dengan alasan kepentingan bisnis. Wajar, ayah Susie adalah seorang direktur sekaligus pemilik Thetatech, sebuah perusahaan manufaktur yang memproduksi teknologi komersial seperti home security, drone, dan produk terbarunya: home assistant. Akhir-akhir ini, bisnisnya sedang berkembang pesat dan beliau jarang sekali mempunyai waktu luang. Sementara itu, ibu Susie adalah seorang manajer bank pusat.

"Nggak apa-apa, Bu," dusta Susie. Ia segera mengalihkan topik pembicaraan.

Ibunya tersenyum, lalu beliau mengecup kening Susie sekali lagi. "Ibu berangkat, ya, Nak."

Dengan berat hati Susie mengangguk. Gadis itu berdiri tak berkutik, melihat ibunya berjalan keluar dari kamarnya. Mungkin lain kali, ia menghibur dirinya sendiri di dalam hati. Lain kali mereka akan punya waktu untukku.

Ia segera menepis segala kekecewaan di dalam pikirannya, kemudian bersiap untuk pergi kuliah. Ia buru-buru mandi, mengenakan kaus merah marun dan celana jeans, lalu menyambar ranselnya dan menuju ke pintu depan.

Advertisement